Kita seringkali terjebak dengan penilaian. Konsep objektif, sebenarnya kamuflase untuk menyederhanakan sebuah sudut pandang. Bagaimana pun, ketika kita melihat sesuatu hal, kemudian dituntut untuk memberikan respon atas keadaan itu, apa yang kita rasakan akan terselip dalam tutur kita. Itulah sebab yang membuat penilaian seringkali berbuntut ‘yang menurut gue paling nyaman di hati’. Tak masalah memang. Hanya, silakan resapi, apakah pernyataan demi pernyataan itu mewakili keadaan sejujurnya suatu objek atau malah pandangan atas rasa suka/tidak suka yang kita rasakan pada objek tersebut.
Lihatlah sejenak pada kontes idol yang kini sedang marak. Menurut A, bagusnya si A karena suaranya yang jazz abis. Sementara menurut si B, lebih baik si B karena suaranya yang nge-beat dan nge-rock abis. Semua orang akan mengatakan sesuai dengan apa yang disukai atau tidak disukainya. Dan hati-hatilah, penilaian seringkali berbuntut dengan masuknya ide tersebut pada kepala orang yang mendengarkan. Ketika opini di kepala sudah terbentuk, bersiaplah terhadap penilaian yang menjadi cenderung sangat subjektif.
… dan beberapa hari terakhir ini, saya dikejutkan dengan berbagai penilaian. entah itu yang saya lakukan sendiri ataupun yang orang lain perlihatkan pada saya.
Kasus awalnya sederhana. Ada kewajiban menyelesaikan sebuah proyek yang sudah kami mulai sejak beberapa bulan yang lalu. Lalu, sampai empat bulan kemudian, proyek itu berjalan molor dan progresifitasnya lambat sekali. Karena pihak pusat sudah memberikan deadline, saya sebagai pimpinan harus pula menginformasikan agar semua proyek berjalan sesuai dengan waktu yang sudah disepakati. Sebagai konsekuensi atas sebuah keterlambatan, maka hal berupa gaji tidak akan dulu diberikan sebelum kewajiban itu terpenuhi.
Nyatanya, semua berjalan tidak sesuai dengan perkiraan. Ada beberapa yang kemudian mencak-mencak merasa dirugikan dengan hal tersebut, kemudian mengatakan bahwa itu sebuah pendzoliman atas hak yang harusnya mereka dapatkan. Dahsyatnya lagi, semuanya dituliskan di sosial media sehingga semua orang seolah-olah membenarkan atas apa yang mereka alami meski kenyataan tak berbicara demikian.
Saat itu, kedewasaan saya benar-benar diuji. Di satu sisi, saya merasa tersakiti karena tuduhan yang disampaikan itu benar-benar tidak begitu. Seharusnya mereka instrofeksi dengan kewajiban yang belum selesai. Tak melulu meminta hak sebelum kewajiban benar-benar terpenuhi. Tapi di sisi lain, saya juga harus bersikap tak mudah terpancing.
Dulu, kalau ada singgungan apapun saya pun seringkali berkeluh kesah di sosial media. Tapi seiring pemahaman, saya sadar, mengumbar masalah dan menyinggung seseorang di sosial media lebih buruk daripada menyinggung secara langsung di hadapan mukanya langsung. Kenapa? Karena sosial media menjanjikan dunia tak terbatas yang semua orang lain bisa mengakses dan memberikan opini sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Hasilnya, bersiaplah sentimen negatif akan tumbuh dan memberikan ruang paling runcing dalam sebuah hubungan.
Itulah sebabnya akhir-akhir ini interaksi saya dengan facebook berkurang. Interaksi kini hanya sebatas mengecek notification, tanpa membubuhkan status, mengupload photo, atau mengirimkan embel-embel apapun. Saya benar-benar merasa tak nyaman. Terlebih setelah tahu bahwa ada salah seorang rekan kerja meng-unfollow saya sebagai teman karena posisi saya sebagai pimpinan. Itu menyakitkan.
Tapi, pada akhirnya, sikap kita jua lah yang akhirnya kembali pada bagaimana hubungan baik itu terbentuk. Saya sudah jauh lebih terlatih untuk menghadapi masalah demi masalah, hubungan demi hubungan, bahkan memenej perasaan agar tak turun naik ekstrim hanya karena ketaksukaan pada seseorang. Kembali tersenyum, menyapa, dan memberikan perhatian meski itu sebatas sms, ternyata mampu meluluhkan hubungan yang tadinya begitu berjarak.
Ini memang belum sepenuhnya kembali membaik. Tapi saya akan masih tetap berusaha untuk menjadi orang yang lebih welcome dan siap menghadapi masalah.
karena sesungguhnya, hidup adalah rangkaian masalah untuk diselesaikan, bukan untuk dihindari…