Mengurai Cahaya

saatnya hidup menjadi bermakna!

Subjektifitas Nilai di Mataku

Kita seringkali terjebak dengan penilaian. Konsep objektif, sebenarnya kamuflase untuk menyederhanakan sebuah sudut pandang. Bagaimana pun, ketika kita melihat sesuatu hal, kemudian dituntut untuk memberikan respon atas keadaan itu, apa yang kita rasakan akan terselip dalam tutur kita. Itulah sebab yang membuat penilaian seringkali berbuntut ‘yang menurut gue paling nyaman di hati’. Tak masalah memang. Hanya, silakan resapi, apakah pernyataan demi pernyataan itu mewakili keadaan sejujurnya suatu objek atau malah pandangan atas rasa suka/tidak suka yang kita rasakan pada objek tersebut.

Lihatlah sejenak pada kontes idol yang kini sedang marak. Menurut A, bagusnya si A karena suaranya yang jazz abis. Sementara menurut si B, lebih baik si B karena suaranya yang nge-beat dan nge-rock abis. Semua orang akan mengatakan sesuai dengan apa yang disukai atau tidak disukainya. Dan hati-hatilah, penilaian seringkali berbuntut dengan masuknya ide tersebut pada kepala orang yang mendengarkan. Ketika opini di kepala sudah terbentuk, bersiaplah terhadap penilaian yang menjadi cenderung sangat subjektif.

… dan beberapa hari terakhir ini, saya dikejutkan dengan berbagai penilaian. entah itu yang saya lakukan sendiri ataupun yang orang lain perlihatkan pada saya.

Kasus awalnya sederhana. Ada kewajiban menyelesaikan sebuah proyek yang sudah kami mulai sejak beberapa bulan yang lalu. Lalu, sampai empat bulan kemudian, proyek itu berjalan molor dan progresifitasnya lambat sekali. Karena pihak pusat sudah memberikan deadline, saya sebagai pimpinan harus pula menginformasikan agar semua proyek berjalan sesuai dengan waktu yang sudah disepakati. Sebagai konsekuensi atas sebuah keterlambatan, maka hal berupa gaji tidak akan dulu diberikan sebelum kewajiban itu terpenuhi.

Nyatanya, semua berjalan tidak sesuai dengan perkiraan. Ada beberapa yang kemudian mencak-mencak merasa dirugikan dengan hal tersebut, kemudian mengatakan bahwa itu sebuah pendzoliman atas hak yang harusnya mereka dapatkan. Dahsyatnya lagi, semuanya dituliskan di sosial media sehingga semua orang seolah-olah membenarkan atas apa yang mereka alami meski kenyataan tak berbicara demikian.

Saat itu, kedewasaan saya benar-benar diuji. Di satu sisi, saya merasa tersakiti karena tuduhan yang disampaikan itu benar-benar tidak begitu. Seharusnya mereka instrofeksi dengan kewajiban yang belum selesai. Tak melulu meminta hak sebelum kewajiban benar-benar terpenuhi. Tapi di sisi lain, saya juga harus bersikap tak mudah terpancing.

Dulu, kalau ada singgungan apapun saya pun seringkali berkeluh kesah di sosial media. Tapi seiring pemahaman, saya sadar, mengumbar masalah dan menyinggung seseorang di sosial media lebih buruk daripada menyinggung secara langsung di hadapan mukanya langsung. Kenapa? Karena sosial media menjanjikan dunia tak terbatas yang semua orang lain bisa mengakses dan memberikan opini sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Hasilnya, bersiaplah sentimen negatif akan tumbuh dan memberikan ruang paling runcing dalam sebuah hubungan.

Itulah sebabnya akhir-akhir ini interaksi saya dengan facebook berkurang. Interaksi kini hanya sebatas mengecek notification, tanpa membubuhkan status, mengupload photo, atau mengirimkan embel-embel apapun. Saya benar-benar merasa tak nyaman. Terlebih setelah tahu bahwa ada salah seorang rekan kerja meng-unfollow saya sebagai teman karena posisi saya sebagai pimpinan. Itu menyakitkan.

Tapi, pada akhirnya, sikap kita jua lah yang akhirnya kembali pada bagaimana hubungan baik itu terbentuk. Saya sudah jauh lebih terlatih untuk menghadapi masalah demi masalah, hubungan demi hubungan, bahkan memenej perasaan agar tak turun naik ekstrim hanya karena ketaksukaan pada seseorang. Kembali tersenyum, menyapa, dan memberikan perhatian meski itu sebatas sms, ternyata mampu meluluhkan hubungan yang tadinya begitu berjarak.

Ini memang belum sepenuhnya kembali membaik. Tapi saya akan masih tetap berusaha untuk menjadi orang yang lebih welcome dan siap menghadapi masalah.

karena sesungguhnya, hidup adalah rangkaian masalah untuk diselesaikan, bukan untuk dihindari…

Tinggalkan komentar »

Tentangmu Saja Dulu

Apa yang terpikir di duniamu, kini?

Aku tak tahu. Tak pernah tahu. Lagi.

Aku masih di sini, tentu saja. Menggenggam separuh harapan yang seringkali senyap, seringkali lenyap. Untuk sebuah titik terang di depan, aku masih belajar merangkak membenahi langkah. Entah bagaimana tibanya. Entah harus seperti apa.

Aku mendengar kabarmu dari dinding jendela. saat sebuah isi hati terlempar, dan aku hanya bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja.

Selamat karena ada satu mimpi yang berhasil kau capai lagi. Aku senang tentu. Dan untuk itu, kuhadiahi kau sepaket doa dan harapan baru…
yang aku tak tahu apakah aku masih pantas untuk itu

Tinggalkan komentar »

Di Penghujung Akhir

Ini hari yang berat. Sungguh. Terasa campur aduk antara urusan kerjaan di kantor, masalah sendiri, hati, juga hubungan baik dengan orang sekitar dan rekan kerja. Padahal baru habis dzuhur tadi si abah bilang anak-anak lagi pada semangatnya kerja. Hanya karena urusan penggajian dan kerja yang belum beres, akhirnya semua jadi menambah pening kepala.

Sungguh, ingin lariiii. Lari dari semua masalah ini dan mengatakan pada dunia aku baik-baik saja. Nyatanya, aku tak pernah bisa lari. Aku harus menyelesaikan masalah ini sendiri, suka ataupun tak suka. Kadang sempat terpikir dalam kepala, kok bisa masalah muncul karena persoalan sepele? Ya, berulangkali aku katakan, ini untuk menguji kedewasaan. Sejauh mana aku mampu bersabar dan menanggapi masalah dengan kepala dingin.

Inginnya keluar aja itu kata-kata sakral. Kata-kata yang paling kubenci untuk keluar ketika kita berada dalam kepelikan masalah. Juga keluhan. Inginnya ngeluuuuuh mulu. Menyampaikan persoalan seolah-olah akulah yang memiliki masalah nomor wahid di dunia ini. Nyatanya?

Dasar aku pecundang!

Tapi ya sudah. Masalah ini memang harus kuselesaikan. Tak peduli efeknya akan baik atau nggak. Tak peduli ini akan mengakibatkan iklim kebersamaan yang kubangun akan terjalin lagi atau tidak. tanggung jawab  adalah tanggung jawab. Aku harus bisa selesaikan meskipun aku tak tahu akan kemana dibawa lari semua masalah ini.

Barangkali, ini karena aku terlalu jauh dari-Nya. Sering keteteran dengan panggilan darinya. Sering tak mengabaikan semua ajakan dan perintahNya. Lihatlah sekarang keadaan hati ini. Serasa sahara yang kering di tengah benua yang tak tahu harus berkehendak apa.

Ya Rabbi…

ingin rasanya berteriak. Membebaskan seluruh ungkapan dan umpatan dalam dada. Siapa aku di hadapanmu?  Malu. Bahkan amalku, jika itu pantas disebut amal, begitu amat sedikit dan tak berarti. Tertututpi odsa-dosa zaman dan kehidupan.

Dan mengenai hubungan baik dengan rekan-rekan kerja yang lain… Allahu… kumohonkan padamu rasa maafku….

Ini berat, dan belum tentu semua akan kembali pada semula yang tak sama. Tapi aku harus yakin pada diri sendiri. Semua jalan akan kembali menemukan ujung, tak peduli seberapa jauh perjalanan itu tlah ditempuh…

 

 

Tinggalkan komentar »

Ini tentang ketika

Ini sepuluh bulan yang terlambat. Serentang waktu yang akhirnya terasa seperti kanal yang berhenti di sebuah bendungan, diam, berhenti mengalir dan tak lagi bersua hal-hal baru di ujung aliran. Lantas tak hanya itu. Jembatan komunikasi pun tlah runtuh seperti tulang yang mengeropos, sedikit demi sedikit, sekeping demi sekeping, dan rapuh menunggu ajal yang  entah kapan.

Ini sepuluh bulan yang terasa amat panjang dan sia-sia. Aku berlari menuju mimpiku. Mewujudkan satu-satu yang berjarak 5cm di depan jidat sendiri, dan melupakan pada serangkaian agenda yang dulu pernah seringkali dirancang dan dibincangkan. Sampai di titik ini, saat aku menyadari bahwa aku telah harus berhenti berlari, menumbuhkan daun harap, dan menyunting bunga yang dikawal mentari setiap pagi.

Barangkali, di dunia ini, yang paling bahagia adalah para pemetik bunga. Yang setiap harinya memandangi ribuan tangkai bunga cantik, berwarna, dengan aneka harum yang menyedapkan indra penciuman. Setiap bunga adalah energi. Dan energi, senantiasa memberikan semangat baru untuk menuju awal yang lebih dinamis dan penuh motivasi.

Dan sepuluh bulan ini aku telah berhenti berpikir. Menjauhkan diriku sendiri dari segala kemungkinan. Membutakan dan menulikan diri. Serta membohongi hati.

Tak ingin berjanji. Karena janji, kelak harus dilunasi. Dan aku masih saja seperti lengkung pelangi yang tak menjanjikan apa-apa. Kecuali keindahan tanpa suara.

Jangan katakan lagi: itu terlalu mengada-ada. karena hatiku telah seringkali berbicara. Lebih banyak daripada yang bisa kuucapkan dan kutuliskan.

… ini tentang ketika saja.

Tinggalkan komentar »

Surat untuk Neptunus

Dear Neptunus…

Kutititipkan padamu ombak dan riak

Ajarilah ia menyelam di biru samudra

Pahamkan padanya hakikat gelombang

juga badai di tengah lautan

Sebab aku hanya menuntunnya hingga di pasir

mengajarkan sebaris kata yang barangkali ia akan lupa

seperti hempasan ombak yang tak pernah tinggalkan jejak

Kutitipkan padamu lirih tawanya

hiasilah setiap senti kisahnya dengan penyelaman

di samudera, di cakrawala, juga pada celoteh camar saat pagi dan senja menyapa

Bimbinglah ia temukan hartanya, mutiara indahnya, juga kearifan deburan ombak yang mengiramakan nada-nada jiwa.

Sebab di suatu ketika, ia harus kembali bernyanyi:

menyapa pantai,

meruntuhkan karang-karang,

jua teman istimewa para kanak dan dewasa.

Dear Neptunus…

Kulepas ombak ke samuderamu

Kuiringi dengan doa butir pasir yang tak pernah terhitung jemari.

Barangkali ada banyak yang tiba di hadapanmu:

Bercerita tentang kisah, juga petuah,

seorang pengembara pada dongeng-dongeng yang tak pernah berhenti menua.

Dear Neptunus…

Sekian.

Kupercayakan padamu perjalanan riak dan ombak…

Terima kasih.

Tinggalkan komentar »

Here…after

Tak pernah ada yang keliru pada waktu. Demikian bisik bayang berkaca pada jembatan-jembatan kenang, pada lirih angin yang dihantar jendela di suatu ketika. Kita adalah setapak yang rapuh, yang berjalan di atas butiran pasir, entah menjadi debu, entah kembali pada hakikat ketiadaan.

Barangkali, ada satu sebab yang menghantarkan pepasir tetap setia;

pada gurun yang merajai embun

pada badai yang mengantarkan rimbun

karena pasir kelak akan menjadi bentuk

dan rupa akan menjelma di pusara mega

***

Kita dahulu bukan sesiapa. Seperti butiran debu yang tak pernah kenal sua, seperti butiran pasir yang lirih tanpa suara. Tetapi perjalanan masa telah meniupkan tetakdir yang tak sama. Kita seperti ombak. Bersua di haribaan pantai, sekedar menitipkan asa, bahwa ruang dan cakrawala begitu luas untuk kembali dijajal. Ada rindu yang tak terbahasakan di sana. Suara menjadi serpih dan rasa telah membilang seperti gugusan bintang.

Setiap ombak selalu kembali pada samudera. Di sanalah ruang terdalam untuk memecah rangkaian kisah, merindukan pepasir, juga sepenggal sore di pelukan senja.

… dan Neptunus barangkali akan bijak bertutur:

“Setiap perjalanan adalah napas. Maka, bernapaslah dengan setangkup harapan yang tak pernah dipadamkan…”

Kelak…

Kembalilah menyapa haribaan pepasir

Sebab ombak harus menuntaskan jejak,

tak peduli lirihnya dihilangkan senyap pekat

Karena, pada pepasir, telah kau goreskan ukiran kisah, juga harapan, bahwa samudra adalah ruang yang akan kau tuju dalam semesta.

Menyapalah meski terkadang itu membuat sesak. Berceritalah meski tak setaip pepasir mendengar celotehmu. Tuliskanlah, dan kabarkanlah perjalananmu menemukan rahasia terdalam dari samudera, juga ufuk impian di helaan cakrawala.

Karena sesungguhnya, setiap perjalanan adalah hakikat kata-kata. Maka biarkanlah klausa membingbingmu menemukan hakikat dari sebuah kehidupan bernama wacana.  Ia ada di sana. Menunggumu menjemput mutiara.

Ada… begitu banyak mutiara.

Percayalah pada hatimu!

Begitu saja!

… and i always hear in here…

Tinggalkan komentar »

Tak Lagi Sama Membaca Rasa

Tak perlu memaksakan diri harus memahami. Kita tercipta berbeda. Beda rasa. Beda pola pikir. Beda pula cara memandang sebuah keadaan. Mungkin saja di sebuah kelokan kita bertemu, untuk sekadar bertatap muka lalu kembali pada keterasingan yang nyata.

Kita saling mengenal dalam rupa, tapi mulai entah dalam membaca rasa.

Jadi tak perlulah memaksakan diri pura-pura mengerti. Silakan kembali dengan pola alurmu sendiri, memutar roda kehidupan seperti biasa, anggap saja kita tak benar-benar ditakdirkan bersama. Seperti air dengan minyak. Seperti pungguk dengan rembulan.

Jika pada suatu kelokan kita bersua, menyapalah seadanya. Tak perlu pelukan hangat, tak usah ada perayaan. Barangkali kita memang sudah terasing satu sama lain. Tapi sebelum semuanya terlanjur tiba, izinkanlah kukatakan padamu:

Maafkan aku. Seperti inilah cinta telah mengajariku. Berani meminta maaf sebelum terpisah. Berani memulai sebelum kelu berpikul-pikul akan memantul.

Terima kasih. Karena kau sudah sudi bernyanyi di hariku yang muram. Setidaknya, senjaku telah lebih indah dibanding biasa. Meski akhirnya sang surya meski lewat jua meredupkan cahaya.

Barangkali, beginilah nasib rasa meski dicerna.

Tinggalkan komentar »

Yang Tak Kubagi Pada Sesiapa

 

hujan tak pernah mengerti apa pentingnya sebuah peristiwa. itulah sebab dia turun tanpa kenal waktu, tanpa kenal tempat. hujan akan terus datang, bahkan ketika tanpa diundang. menenun helai demi helai halaman seperti jejak aksara berakrobat membentuk kata dan kalimat.

tanpa jeda. tanpa butuh banyak bicara.

lantas pergi.

menyisakan basah dan lembap untuk beberapa saat.

dan kamu, sejatinya tahu betapa berharganya sebuah ketika. tatkala menyimak hadirku yang disekap kesendirian, menggigilkan mantra mantra penggugur demam, bicara tentang obat-obat peringan nyeri, juga kepala yang serasa dihinggapi puluhan kilo pemberat timbangan.

aku tak pernah tahu harus membaginya pada siapa. hingga kata-kata menggumpal dalam ingatan, membentuk kerak, juga kicau kacau.

aku tak tahu harus membaginya padamu. benarkah harus begitu?

maka kutuliskan saja begini:

aku menulis ini untukmu. siapa pun kamu.

2 Komentar »

Bukan Tentang Geografis

ini bukan hanya tentang geografis. ini tentang rasa.

bahwa meski hadirku dan hadirmu dibentangkan jarak begitu rupa, masih ada saja eja yang membuatku beraksara. masih saja ada rona yang melukiskan senja menjadi begitu istimewa.

geografis sosiologis teracuh saja. entah nanti. saat adat turun tangan. saat ijab menjadi jembatan.

Tinggalkan komentar »

Repih rapuh

Aku tak minta pada-Mu,

Jangan berikan masalah seberat ini padaku

Sebab masalah seringkali indikasi perhatian

Dan perhatian selalu melahirkan cinta teramat agung

Maka, kumohonkan asa dalam lautan pinta:

Kuatkanlah pundak untuk menahan gejolak berat

Bijakkan sikap untuk ruwetnya langkah dan derap

Lapangkan dada untuk tusukan dan nyeri diri

Sungguh, nyanyi sunyi teramat ringkih menghalau diri

Angkuh jiwa seringkali menyisakan tanda tanya

Pekat raga senantiasa bersenandung angkara rasa

Tuhanku.

Kumohon dengan hati sungguh

Dengan repih jiwa yang rapuh

Gandeng aku dalam jalan lirihku.

Selamanya dan selalu.

Tinggalkan komentar »